Aktifitas di Tempat Itikaf
Pembahasan Kelima
Aktifitas di Tempat I’tikaf
Mayoritas ahli fiqih membolehkan bagi orang yang sedang i’tikaf untuk melakukan aktifitas kebaikan apa saja yang bermanfaat untuk dirinya atau untuk orang lain.
Berikut beberapa pendapat ahli fiqih:
Zhahiriyah: Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
Orang yang sedang i’tikaf boleh berbincang-bincang di dalam masjid selama perbincangan tersebut bukan perbincangan yang diharamkan. Atau mempelajari ilmu apa saja, ia boleh menjahit, menuntut hak, menyalin, jual beli, akad nikah dan lain-lain. Sebab i’tikaf adalah menetap dan apa saja yang ia lakukan di dalam masjid tidak keluar dari aktifitas i’tikaf.
An-Nawawi rahimahullah berbicara tentang fiqih asy-Syafi’iyyah yang maknanya antara lain:
Boleh membaca al-Qur-an dan membacakannya untuk orang lain atau mempelajari ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Perkara ini tidaklah dimakruhkan. Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Hal ini lebih baik ketimbang shalat sunnah sebab aktifitas ini hukumnya fardhu kifayah dan menyibukkan diri dengan ilmu lebih diutamakan daripada menyibukkan diri dengan shalat sunnah. Ia juga boleh memberikan perintah (kepada orang lain) untuk mengelola hartanya, pekerjaannya, dan lain-lain. Dia juga boleh berbincang-bincang dengan perbincangan yang dibolehkan, jual beli dengan tanpa menghadirkan barang dagangan serta berdagang selama ia tidak melakukan akad, menjahit, memberi nasihat, dan berdzikir.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata tentang fiqih Hanbali yang maknanya antara lain:
Bagi yang sedang i’tikaf dianjurkan untuk shalat, membaca al-Qur-an, berdzikir dan melakukan aktifitas ketaatan lainnya. Dibolehkan juga berbicara sesuai dengan kebutuhan, berbincang-bincang dengan orang lain, menyuruh keluarganya untuk memenuhi kebutuhannya (syaratnya ia hanya sambil berlalu), tidak boleh duduk di rumahnya.
Adapun membacakan al-Qur-an untuk orang lain, mengajarkan ilmu, tukar fikiran dengan para fuqaha dan duduk bersama mereka, menulis hadits dari mereka dan aktifitas lainnya yang bermanfaat untuk orang banyak, maka menurut mayoritas madzhab Hanbali tidak dianjurkan dan demikian juga zhahir dari pendapat Ahmad. Dalil mereka bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri’tikaf, namun tidak pernah dinukil bahwa beliau sibuk dengan aktifitas selain ibadah pribadi. Dan juga i’tikaf itu adalah sebuah ibadah dan Di antara syaratnya adalah tinggal di masjid, namun hal-hal tadi tidak dianjurkan untuk dilakukan, seperti thawaf.
Tidak mengapa melakukan akad nikah di masjid atau menjadi saksi atas akad nikah, namun ia tidak boleh menjual atau membeli kecuali untuk suatu hal yang sangat penting.
Pendapat Madzhab Malikiyah:
Hanya boleh melakukan shalat dan membaca al-Qur-an saja. Mereka memakruhkan untuk menjadi imam, walaupun ia imam masjid.
Pendapat Madzhab Hanafi:
Boleh melakukan kegiatan yang ia butuhkan atau yang dibutuhkan oleh keluarganya. Jikalau untuk berdagang, maka hal itu dimakruhkan. Dibolehkan juga membaca al-Qur-an, hadits, ilmu, mengajarkan sejarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kisah-kisah para Nabi, kisah-kisah orang shalih dan menulis masalah agama.
Ketahuilah wahai saudaraku semuslim. Bahwa pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah i’tikaf, namun tidak ada penukilan bahwa beliau melakukan aktifitas selain ibadah pribadi, tidak dapat dijadikan dalil. Bahkan yang benar adalah sebaliknya. Beliau melakukan khutbah Jum’at sementara beliau sedang i’tikaf, beliau juga memberi nasihat dan petunjuk, mengajar, mengimami orang shalat, mengabarkan tentang lailatul qadar, terkadang wahyu turun kepada beliau, lalu beliau sampaikan kepada para Sahabat wahyu yang baru turun tersebut. Seperti yang sudah dimaklumi bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering ditanya oleh para Sahabat Radhiyallahu anhum tentang masalah-masalah agama. Jika hal itu terlarang tentunya beliau melarang mereka melakukannya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan atau beliau tidak menjawab pertanyaan mereka. Wallaahu a’lam.
[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54825-aktifitas-di-tempat-itikaf.html